RADARMEDAN.COM, MEDAN - Pemberhentian Evi oleh presiden berdasarkan keputusan DKPP 31/2019 yang menyatakan Evi melakukan pelanggaran kode etik. Namun Evi menilai putusan DKPP yang menjadi dasar putusan presiden itu cacat karena melanggar sejumlah prinsip penyelesaian perkara di DKPP, pada hari Jumat (24/7) Sekira pukul 13.45 WIB.
Ia juga memberi saran agar DKPP harus hati-hati dalam menutus perkara kode etik. “Mana kode etik, mana yang bukan. Karena KPU menjalankan keputusan menurut Undang-undang. Jadi jangan sampai keputusan KPU dalam melaksanakan tugas, kalau tidak disepakati oleh pihak lain (Bawaslu), dianggap pelanggaran kode etik, tidak bisa begitu,” kata Evi.
Demikian disampaikan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Prof Topo Santoso, kepada RADARMEDAN.COM dalam Putusan PTUN tersebut membuktikan DKPP sudah keliru sejak awal.
Harusnya Evi kembali lagi ke KPU, Putusan DKPP itu memang tidak ada forum untuk membandingnya, tidak ada proses diatasnya lagi. Tapi karena keputusan Presiden batal, jadi kedudukan Evi harus dipulihkan.
“Kalau tidak dipulihkan, maka mendeskreditkan kewenangan PTUN sebagai lembaga yang berwenang yang memutus sengketa PTUN. Bisa-bisa PTUN dilemahkan. Apa artinya putusan PTUN ini kalau Bu Evi tidak dipulihkan. Ini adalah putusan yang harus dieksekusi,” kata Prof Topo.
KPU harus lebih dihormati lagi otoritasnya dalam menjalankan seluruh tahapan. Walaupun seluruh anggota KPU punya jabatan koordinator, tapi semua keputusan diambil secara kolektif kolegial,” ungkap Evi. (Rahmad)/PE
TAG : politik,nasional