RADARMEDAN.COM, JAKARTA - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan pendapatan per kapita Indonesia bisa disalip Filipina dan Vietnam.
Itu bisa terjadi apabila pemerintah tidak segera mendorong sektor manufaktur. Pasalnya, rata-rata pertumbuhan ekonomi dua negara tetangga tersebut dalam satu dekade terakhir selalu berada di atas 6 persen karena ditopang oleh sektor manufakturnya.
"Tanpa redesign transformasi ekonomi, pendapatan per kapita Indonesia akan disalip oleh Filipina pada 2037 dan Vietnam pada 2043. Itu jika tidak ada akselerasi," ujar Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti dalam webinar CSIS dan Transformasi Ekonomi Menuju Indonesia 2045, Rabu (4/8).
Ia menuturkan kontribusi sektor manufaktur kepada PDB terus turun sejak krisis keuangan Asia lalu. Bahkan, saat ini kontribusi manufaktur kepada PDB kurang dari 20 persen.
"Setelah Asian financial crisis, justru transformasi ekonomi Indonesia melambat dan tidak ada dorongan pertumbuhan ekonomi untuk masuk pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi. Bahkan yang lebih berkembang adalah sektor jasa bukan manufaktur," imbuhnya.
Menurutnya, dorongan pada sektor manufaktur menjadi sangat krusial untuk memacu pertumbuhan ekonomi apalagi yang sedang terdampak pandemi covid-19. Utamanya jika Indonesia ingin mengejar target keluar dari jebakan negara pendapatan menengah (middle income trap) pada 2045.
Ia mengatakan bukti betapa besar sektor manufaktur bisa melepaskan negara dari jebakan itu sudah dialami oleh Korea Selatan dan Romania. Kedua negara itu hanya butuh waktu 14 tahun untuk naik kelas menjadi negara maju usai menggenjot sektor manufakturnya.
"Ada urgensi redesign transformasi ekonomi, mengapa? Karena pertumbuhan ekonomi yang 5 persen saja pasti tidak bisa membawa Indonesia lepas dari middle income trap sebelum 2045," imbuhnya.
Dalam kesempatan yang sama, Mantan Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro menilai Indonesia sampai sekarang tidak fokus mendorong sektor manufaktur karena masih tergoda dengan keberadaan sumber daya alam (SDA).
"Keberadaan natural resources (SDA) di kita ini yang kemudian banyak menggoda banyak pihak, baik investor dalam negeri maupun luar negeri dan juga pemerintah untuk memanfaatkan dalam jangka pendek. Kalau pendapat saya itu yang membuat rasio manufaktur terhadap PDB turun terus dari mendekati 30 persen sampai tadi 19 persen," paparnya.
Menurutnya, keberadaan SDA Indonesia harus didorong memiliki nilai tambah (added value) melalui proses manufaktur. Pasalnya, selama ini Indonesia masih banyak mengekspor SDA dalam bentuk mentah atau setengah jadi sehingga nilai tambahnya rendah.
"Misalnya, Indonesia terkenal eksportir nikel terbesar. Kita jangan bangga dengan itu terus menerus. Seharusnya kebanggaan kita itu kalau bisa jadi salah satu leading produsen dari baterai kendaraan listrik," imbuhnya.
(ulf/agt)/CNNINDONESIA/pe
TAG : nasional