Keterangan Gambar : Foto : CNN Indonesia
RADARMEDAN.COM, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku akan berkonsultasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai penggunaan APBN dan APBD tahun ini agar relokasi anggaran yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah tak menjadi 'temuan audit'.
Namun, Sri Mulyani juga tak menutup mata bahwa kebijakan ini akan membuka 'celah korupsi' bagi oknum-oknum tertentu. Makanya, ia menegaskan pemerintah akan menindak tegas pihak-pihak yang mengambil keuntungan di tengah penanganan virus corona.
"Kami akan tegas kalau ada yang melakukan hal-hal untuk memanfaatkan situasi ini," ujar Sri Mulyani, dikutip dari CNN Indonesia, Kamis (26/3).
Memang, sebaiknya pemerintah tak lupa untuk mengawasi dengan ketat pelaksanaan pengalihan anggaran, baik di pusat maupun daerah. Jangan sampai pemerintah terlena dengan terus mengeluarkan kebijakan baru, tapi abai melakukan pengawasan.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede memandang kebijakan penggunaan APBN dan APBD yang lebih longgar untuk penanganan kasus virus corona bisa saja dimanfaatkan oleh sejumlah oknum.
Alhasil, dana yang seharusnya disalurkan untuk mempertahankan daya beli masyarakat demi meredam dampak virus corona terhadap ekonomi domestik justru berpotensi masuk ke 'kantong-kantong' yang tak seharusnya. Jika begitu, ekonomi akan sulit untuk diselamatkan.
"Ya manusia kan ada saja yang memanfaatkan. Makanya harus ada check and balances," tutur Josua.
Ia mengatakan Kementerian Keuangan, sebagai lembaga yang mengontrol penuh anggaran negara mesti merinci lagi pos mana saja yang dapat dialihkan untuk penanganan virus corona. Dengan begitu, kementerian/lembaga dan pemerintah daerah (pemda) tak berpikir bahwa semua anggaran dapat dilakukan realokasi.
"Sehingga pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak menganggap semua belanja bisa 'digelembungkan' untuk penanganan virus corona," jelas Josua.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya sudah menyampaikan bahwa pejabat di pusat dan daerah sebaiknya melakukan realokasi anggaran yang tak berdampak pada peningkatan daya beli masyarakat untuk menangani kasus virus corona. Namun, bukan berarti Sri Mulyani tak merinci lebih lanjut arahan kepala negara tersebut.
"Pak Jokowi sebagai presiden kan tidak mungkin menyampaikan hal-hal yang detail, nah ini tugas Kementerian Keuangan jadi penanganan virus corona bisa lebih bijaksana," terang Josua.
Sejauh ini, Kementerian Keuangan baru merilis Peraturan Direktur Jenderal Anggaran Nomor PER-2/AG/2020 tentang Petunjuk Teknis Percepatan Penyelesaian Usulan Revisi Anggaran yang Menjadi Kewenangan Direktorat Jenderal Anggaran Tahun Anggaran 2020.
Dalam beleid itu hanya dituliskan mengenai proses pengajuan revisi anggaran. Namun, tak ada informasi mengenai pos belanja mana saja yang bisa dilakukan realokasi untuk penanganan virus corona.
Sementara, Sri Mulyani sebelumnya menyatakan beberapa pos yang bisa digeser penggunaannya adalah perjalanan dinas, belanja non operasional, honor-honor, dana yang terblokir, dan output cadangan. Hanya saja, belum ada aturan 'pakem' terkait hal tersebut.
Selain itu, Josua berpendapat pemerintah juga harus memonitor lebih ketat bahwa penerima insentif atau bantuan karena virus corona ini sesuai dengan target yang ditetapkan. Menurutnya, pemerintah bisa menggunakan basis data yang sudah ada untuk sementara waktu.
"Sekarang kan pemerintah sudah memiliki data-data siapa saja penerima kartu sembako, penerima program keluarga harapan (PKH), dan bantuan sosial (bansos) lainnya. Gunakan itu dulu," ujar Josua.
Jangan sampai, sambung dia, pemerintah sibuk memperbaiki data terlebih dahulu sehingga implementasi program bansos terganggu. Untuk proses pengawasan, pemerintah bisa bekerja sama dengan perbankan karena penyalurannya kini mayoritas dilakukan secara digital.
Sependapat, Ekonom UI Rhenald Kasali menyatakan bahwa selalu ada pihak-pihak yang mencoba mengeruk keuntungan di dalam keadaan darurat sekalipun. Pemerintah bisa menekan risiko tersebut dengan melakukan koordinasi yang baik antara daerah dan pusat.
"Kemungkinan korupsi selalu ada, tapi saya kira betapa jahatnya kalau orang melakukan itu," ucap Rhenald.
Menurut dia, lembaga pemerintahan yang bertugas mencegah tindakan korupsi dan memeriksa keuangan negara juga perlu bekerja lebih ekstra untuk memantau realokasi anggaran dan implementasinya dalam penanganan virus corona.
Lembaga yang dimaksud adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Sistem yang sudah ada tetap harus bekerja, misalnya mencegah barang yang didistribusikan jatuh ke pihak yang tidak membutuhkan, beli alat (untuk penanganan virus corona) tapi tidak dikontrol keluarnya," ujar Rhenald.
Sejauh ini, ia menilai pemerintah tak perlu membuat badan khusus lagi guna mengawasi penggunaan dana untuk meredam penyebaran virus corona di dalam negeri. Sebab, hal itu akan membuang waktu dan energi.
"Semakin banyak lembaga justru menjadi rumit. Lembaga yang ada dibuat lebih efektif saja," tegas Rhenald.
Hal yang sama diungkapkan Peneliti Senior Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Haryo Aswicahyono. Menurutnya, pemerintah bisa mengandalkan KPK, BPK, dan BPKP untuk mengurangi risiko tindakan korupsi.
"Tidak perlu banyak lembaga. Kalau ada lembaga baru lagi nanti bisa saja dikorupsi lagi, sama saja. Jadi koordinasi dengan yang sudah ada saja," terang Haryo.(CNN Indonesia/PR)ÂÂ
TAG : virus-corona,ekonomi,nasional