Keterangan Gambar : Wahyu Pratomo, Ekonom asal Universitas Sumatera Utara (USU).
RADARMEDAN.COM - Jelang debat kandidat Pilkada Medan putaran ketiga, Akhyar Nasution akhirnya mengakui pentingnya dukungan pemerintah provinsi maupun pusat terhadap proses pembangunan Kota Medan.
"Membangun Medan adalah membangun Indonesia. Untuk itu kerja sama pemerintah pusat, provinsi dan Kota Medan sangat dibutuhkan sekali," ujar Calon Wali Kota Medan No Urut 1 tersebut, saat berkampanye di Jalan Karya Sei Agul, Medan Barat, Rabu (2/12/2020) lalu.
Sebelumnya, kubu Akhyar yang berpasangan dengan Salman Alfarisi kerap mendiskreditkan Calon Wali Kota No Urut 2, Muhammad Bobby Afif Nasution terkait hubungan dengan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Padahal di lain pihak, sejumlah akademisi telah memaparkan akses komunikasi yang dimiliki Bobby dengan pemerintah pusat merupakan pengharapan besar bagi masyarakat. Akses tersebut akan berimplikasi positif terhadap Kota Medan mendatang, setelah cukup lama mengalami stagnasi pembangunan.
Berdasarkan konfirmasi resmi dari Komisioner KPU Medan, M. Rinaldi Khair, debat Pilkada Medan 2020 putaran akhir akan berlangsung di Grand Aston City Hall, Medan, serta disiarkan langsung melalui Metro TV mulai pukul 15.00 WIB. Pada debat sebelumnya, Sabtu (21/11/2020), Akhyar sempat menyanggah kritik Bobby soal total APBD Kota Medan selama 5 tahun terakhir yang hampir mencapai Rp30 triliun. Namun, dia melatari sanggahan itu dengan penyerapan anggaran yang disebutnya sebagai realisasi APBD rata-rata Rp4 triliunan setahun.
Sanggahan Akhyar justru dipandang membuka borok sendiri. Begitu pandangan Wahyu Pratomo, Ekonom asal Universitas Sumatera Utara (USU).
Realisasi APBD itu, ulas Wahyu, merupakan penyerapan atau penggunaan real. Ini menjadi tolok ukur kualitas manajemen sebuah pemerintahan.
Memang, dalam catatan Wahyu, realisasi APBD Kota Medan dalam lima tahun terakhir Pemko Medan selalu di bawah 90 persen. Ini kegagalan. Karena artinya Pemko Medan harus mengembalikan dana ke kas negara, yang diistilahkan sisa lebih penggunaan anggaran (SILPA).
"Ini bukan efisiensi, melainkan kegagalan. Umumnya karena kegiatan di OPD (organisasi perangkat daerah) yang tidak berjalan. Dengan demikian kan sayang jika tidak digunakan. Padahal, itu sudah disimpan di perbankan, " paparnya.
Dari fakta di lapangan, lanjut Wahyu, harusnya dana transfer seperti dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) dari pemerintah pusat, juga penggunaannya selalu tidak tepat. "Harusnya digunakan untuk belanja produktif. Ternyata tidak bisa digunakan, karena mereka membuat perencanaan program/kegiatan yang tidak baik, " lanjut Wahyu.
Kebiasaan buruk Pemko Medan menghabiskan anggaran di penghujung tahun pun dikritisi akademisi ini. Efeknya masyarakat terimbas karena pembenahan infrastruktur harus menunggu akhir tahun. Sedangkan kerusakan fasilitas seperti jalan sudah terjadi sebelum akhir tahun.
"Kebiasaan yang sering muncul adalah belanjanya di akhir tahun. Untuk tahun berjalan menjadi tidak efektif, " lanjut Wahyu.
Di masa pandemi, ungkapnya pula, pemanfaatan anggaran yang kurang profesional tentu saja sangat berdampak pada perekonomian masyarakat. "Efek melambatnya dampak belanja pemerintah terhadap perekonomian selama Covid-19 juga pernah disesalkan presiden karena banyak kementerian yang belum membelanjakan anggarannya, " kata Wahyu.
Padahal, pada saat krisis seperti ini harusnya belanja pemerintah jauh lebih besar untuk menstimulus perekonomian. (red/PR)
TAG : politik