Keterangan Gambar : Sumber foto Kompas.com
RADARMEDAN.COM - Tak terasa tinggal menghitung hari saja Pilkada Serentak 2020 akan dilaksanakan pada Rabu, 9 Desember 2020. Ya, walaupun tahun ini kita harus melaksanakan pilkada dalam kondisi Pandemi Covid-19 ini, harus mengikuti protokol kesehatan. Saya masih meresahkan perkara mantan koruptor yang dibolehkan untuk naik menjadi paslon/Calon Kepala daerah. Di tengah tahapan persiapan yang belum rampung, evaluasi bagi pilkada serentak terus bermunculan terutama soal penyelenggaraannya.
Bahkan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian menyebut perlunya evaluasi pilkada secara langsung beralih menjadi sistem pemilihan oleh dewan perwakilan rakyat daerah. Alasannya pilkada langsung menghasilkan biaya politik yang tinggi sehingga mendorong kepala daerah melakukan korupsi.
Merubah sistem pilkada dengan alasan korupsi tentu tidak sepenuhnya tepat karena pilkada secara langsung merupakan instrumen yang sangat penting dalam penyelenggaran pemerintahan di daerah berdasarkan prinsip demokrasi karena disinilah wujud rakyat sebagai pemegang kedaulatan menentukan kebijakan kenegaraan.
Hal ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan tertinggi ada pada rakyat untuk mengatur pemerintahan suatu negara. Melalui pilkada secara langsung, rakyat dapat memilih siapa yang menjadi pemimpin dan wakilnya, yang selanjutnya menentukan arah masa depan sebuah negara. Sehingga pilkada harusnya menjadi waktu yang tepat bagi rakyat untuk mengevaluasi para pemimpin-pemimpin di daerah agar bersih. Salah satu caranya adalah dengan melarang mantan koruptor maju sebagai kontestan.
Celah Regulasi
Gagasan untuk melarang mantan narapidana korupsi maju dalam pilkada tentu akan terus berkembang karena disatu sisi ada putusan Mahkamah Konstitusi nomor 42/PUU-XIII/2015 yang memperbolehkan dan ditambah secara historis regulasi soal pelarangan mantan koruptor sebenarnya sudah coba diakomodir oleh KPU pada pemilu serentak 2019 yang lalu. Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Legislatif dengan melarang mantan koruptor maju dalam pencalegan tetapi PKPU tersebut kemudian menimbulkan polemik hingga berujung uji materi di Mahkamah Agung (MA) dan dibatalkan.
Alasannya tentu saja karena aturan pelarangan tersebut hanya dibuat dalam PKPU yang hanya merupakan aturan teknis bukan dalam UU Pilkada sehingga normanya dianggap bertentangan. Hal ini terjadi karena tidak adanya frasa melarang secara tegas dalam peraturan perundang-undangan.
Jika ditelusuri dalam regulasi sebenarnya hanya syarat menjadi calon presiden dan wakil presiden yang tegas menyebut mantan koruptor dilarang mencalonkan diri. Hal itu tercantum dalam Pasal 169 huruf d UU No 7 tahun 2017 yang menyebutkan bahwa tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya.
Sementara syarat menjadi calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/Kota tidak melarang mantan koruptor.
Ketentuan dalam Pasal 240 ayat (1) huruf g menjelaskan bahwa tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Kemudian syarat menjadi calon Anggota DPD juga tidak ada pelarangan yang dijelaskan dalam Pasal 182 huruf g bahwa tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Sedangkan syarat menjadi calon kepala daerah juga tidak larangan mantan koruptor seperti yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) g UU No 10 tahun 2016 bahwa tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Ketentuan ini tentu memberi celah bagi setiap mantan koruptor untuk kembali maju dalam kontestasi pilkada.
Menciptakan Pilkada Berintegritas
Sejatinya alasan utama melarang mantan narapidana korupsi maju dalam pilkada adalah agar terciptanya pilkada yang berintegritas. Untuk menentukan terciptanya pilkada berintegritas setidaknya akan terjamin oleh 3 (tiga) faktor. Pertama, peran partai politik dengan memberikan calon yang bersih. Persoalan korupsi terutama korupsi politik terkait erat dengan pendanaan politik. Kasus-kasus korupsi yang melibatkan politisi tidak hanya sekedar untuk memperkaya diri sendiri.
Lebih dari itu, korupsi dilakukan untuk membiayai kegiatan politik. Hal inilah yang membuat banyak kader-kader partai politik tersangkut kasus korupsi bahkan tak terkecuali kepala daerah.
Berdasarkan Heidenheimer dkk. dalam Amundsen (1999), korupsi politik adalah segala bentuk tindakan korupsi yang dilakukan pemerintah atau penentu kebijakan publik dengan mengkonversikan secara tidak sah aspek-aspek yang menyangkut kepentingan publik menjadi milik pribadi dan terjadi di tingkatan tertinggi dari suatu sistem politik.
Menurut laporan studi potensi benturan kepentingan dalam pendanaan pilkada oleh Direktorat Litbang KPK tahun 2017 menyebutkan bahwa dalam pilkada serentak tidak dipungkiri bahwa calon kepala daerah harus mengeluarkan biaya pribadi untuk mendanai proses pencalonan dirinya. Biaya dikeluarkan mulai dari pencalonan di tingkat partai, kampanye dalam bentuk pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan dialog, dan kegiatan kampanye lainnya yang tidak melanggar peraturan.
Selain dari itu calon kepala daerah juga harus mengeluarkan biaya saksi pada saat hari-H pemilihan berlangsung, rekapitulasi serta mengeluarkan biaya penyelesaian jika terjadi sengketa pilkada.
Kedua, peran penyelenggara dengan membuat aturan yang dapat menyaring calon-calon bermasalah maju dalam kontestasi pilkada. Hal ini harus dilakukan karena apapun logika dan retorikanya koruptor merupakan musuh bersama bangsa ini meskipun koruptor telah dihukum namun tetaplah mereka punya track record mengkhianati daulat rakyat sehingga masyarakat berhak untuk tidak lagi disuguhkan “hidangan basi” berupa mantan narapidana korupsi dalam pilkada dan ketiga, peran rakyat sebagai pemilih dengan tidak memilih mantan koruptor dalam pilkada. Untuk itulah perlu dilakukan pengaturan pelarangan bagi mantan koruptor dalam Pilkada.
Oleh:
Yulia Niken Febriani (Mahasiswa dari Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang)
TAG : pilkada,politik