RADARMEDAN.COM - Penerapan Restorative Justice dalam penghentian penuntutan perkara-perkara pidana yang dilakukan Kejaksaan diartikan sebagai sikap korps Adhyaksa yang peduli terhadap kehidupan masyarakat, agar terciptanya kebersamaan, solidaritas, saling menghargai, saling memaafkan dan timbulnya toleransi di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Kejaksaan dalam menerbitkan Surat Penghentian Penuntutan (SKP2) berdasarkan Keadilan Restoratif (RJ) salah satunya melalui pendekatan humanis. Saya boleh mengatakan bahwa keadilan restoratif merupakan salah satu penerapan penegakan hukum menuju peradilan yang humanis.
Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum memandang penerapan RJ sebagai salah satu edukasi bagi rakyat agar ke depannya dapat menghindari perilaku-perilaku yang berujung adanya penindakan hukum.RJ diharapkan adanya efek jera dan mampu meminimalisir tindak pidana di tengah kehidupan bermasyarakat.
Saya menegaskan, pada prinsipnya keadilan sejati adalah bisa diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara. Sementara proses hukum belum tentu bisa mendapatkan suatu keadilan. Maka dari itu, hanya dengan jalan perdamaian tanpa proses hukum, keadilan sejati bisa diwujudkan setelah semua pihak bersepakat tanpa ada yang merasa dirugikan.
Konsep pendekatan restorative justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Fiat justisia ruat coelum, pepatah latin ini memiliki arti “meski langit runtuh keadilan harus ditegakkan
Kejaksaan Agung sebelumnya menerbitkan kebijakan mengenai keadilan restoratif melalui Peraturan Jaksa Agung (PERJA) Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Berdasarkan pada Pasal 2 Perja Nomor 15 tahun 2020, pertimbangan untuk melaksanakan konsep keadilan restorative dilaksanakan berdasarkan asas keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, dan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Penuntut Umum berwenang menutup perkara demi kepentingan hukum salah satunya karena alasan telah ada penyelesaian perkara di luar pengadilan/afdoening buiten process, hal ini diatur dalam Pasal 3 ayat (2) huruf e Perja Nomor 15 Tahun 2020. Di dalam Peraturan Jaksa Agung tersebut pada Pasal 3 ayat (3) terdapat ketentuan apabila ingin menyelesaikan perkara di luar pengadilan untuk tindak pidana tertentu dengan maksimum denda dibayar sukarela atau telah ada pemulihan keadaan semula melalui restorative justice.
Ada tiga syarat prinsip keadilan restoratif bisa ditempuh yaitu pelaku baru pertama kali melakukan pidana, ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun serta nilai kerugian perkara tidak lebih dari Rp2.500.000.
Guna mendekatkan diri dengan masyarakat, Kejaksaan pun menginisiasi pembentukan Rumah Restorative Justice. Rumah restorative justice memudahkan koordinasi dalam penyelesaian perkara di luar peradilan.
Keberadaan rumah restorative justice sangatlah strategis dalam rangka untuk mendamaikan suatu perkara yang sifatnya ringan dalam artian tidak perlu dibawa ke pengadilan. Sehingga, sepanjang masih bisa diselesaikan di luar pengadilan, maka rumah RJ dapat dimanfaatkan untuk membangun komunikasi dan koordinasi bagi seluruh masyarakat dan Aparat Penegak Hukum setempat mendorong agar keadilan restoratif diterapkan. ****
Penulis adalah seorang jurnalis senior, tinggal di Medan, Sumatera Utara
TAG : opini