Keterangan Gambar : Nelly MPd Dosen dan aktifis
Fomena kekerasan terhadap anak selalu saja menjadi momok yang menakutkan di negeri ini. Setiap tahun angka kekerasan selalu saja mengalami peningkatan dan ini terjadi dihampir semua daerah di tanah air. Angka kekerasan anak yang dipublikasi merupakan kasus yang dilaporkan ke lembaga pelayanan sosial, seperti Komisi Nasional Anak dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Mirisnya kasus kekerasan terhadap anak terjadi di semua kabupaten / kota, di daerah perkotaan maupun di perdesaan, dan korbannya anak laki-laki maupun perempuan. Ironisnya, lingkungan sosial yang diharapkan memberikan jaminan perlindungan anak, seperti keluarga dan sekolah – justru menjadi lingkungan yang menyumbang angka kekerasan yang signifikan.
Di provinsi Sumatera Utara sendiri seperti dilansir dari media online Medanbisnisdaily.com, tepatnya di kabupaten Deli Serdang, zona merah kasus kekerasan terhadap anak. Hal tersebut dikuatkan berdasarkan catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait mengungkap sejumlah kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Kabupaten Deli Serdang pada tahun 2020. Di antaranya siswi SMK diperkosa secara bergilir oleh tujuh kakak kelas yang masih satu sekolah yang dilaporkan ke kantor polisi pada Maret 2020.
Kemudian seorang ayah memperkosa anak tirinya yang masih berusia 12 tahun secara berulang kali di Kecamatan Tanjung Morawa, pada Jumat (7/8/2020)," ujar Arist Merdeka Sirait, Jumat (20/11/2020). Tak hanya itu, lanjut Arist, kasus kekerasan anak kembali terjadi. Pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang bernama Nick Wilson (15) warga Kecamatan Bagun Purba dibunuh, Kamis (19/8/2020). Selanjutnya, seorang ayah mencabuli anak kandungnya sejak SD hingga SMA di Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, pada Rabu (7/10/2020). Sederet kasus kekerasan anak tersebut pelaku sudah diamankan Polresta Deli Serdang," sambungnya.
Dengan demikian, kata Arist, sejumlah kasus kekerasan yang terjadi pihaknya tidak salah menobatkan Kabupaten Deli Serdang zona merah kekerasan terhadap anak. Kondisi ini sungguh menyesakkan dada dan begitu memprihatinkan, padahal Kabupaten Deli Serdang mendapatkan penghargaan Layak Anak (KLA) kategori Madya. Tapi kasus kekerasan anak mengalami peningkatan signifikan.
Menelaah istilah kekerasan secara umum digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup (covert), dan baik yang bersefat menyerang (offensive) atau bertahan (defensive), yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain (Santoso, 2002).
Sementara itu WHO mendefenisikan kekerasan terhadap anak sebagai suatu tindakan penganiayaan atau perlakuan salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual, melalaikan pengasuhan dan eksploitasi untuk kepentingan komersial yang secara nyata atau pun tidak dapat membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup, martabat atau perkembangannya.
Semakin tahun kasus kekerasan terhadap anak ini menunjukkan tren yang terus meningkat. Padahal sedari awal pemerintah sendiri telah membuat berbagai aturan dan kebijakan untuk mencegah dan menanggulangi kekerasan terhadap anak. Negara dan pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Di dalam undang undang tersebut ditegaskan bahwa perlindungan harus dilakukan terhadap siapapun yang terancam rasa amanya untuk menjalani kehidupan seharihari. Ditegaskan, bahwa perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya.
Kemudian terdapat beberapa respon negara atau Kementerian/Lembaga untuk memenuhi hak anak dan memberikan perlindungan bagi anak terhadap tindak kekerasan. Misalnya kebijakan tentang RSPA (rumah perlidungan sosial anak (sebagai bagian dari program rehabilitasi bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus, termasuk anak yang mendapatkan kekerasan dan penelantaran, dan sebagai implementasi dari UU No 23/2002.
Pendirian LPA (lembaga perlindungan anak) di beberapa provinsi adalah salah satu respon pemerintah untuk melindungi anak dan merespon terhadap tidak kekerasan yang terjadi pada anak. SDC (social development centre) untuk merespon penelantaran pada anak, panti rehabilitasi dan panti sosial lainnya peerlu menjadi pertimbangan dan sebagai respon negara /pemeerintah dalam menangani kasus-kasus tindak kekerasan dan penelantaran, PPT (pusat pelayanan terpadu) di beberapa RS Kepolisian, unit PPA (pelayanan perempuan dan anak) pada kantor polisi (polsek) setiap provinsi.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kasus kekerasan pada anak terus saja terjadi? bahkan semakin menjadi?
Apa yang salah? dan bagaimana penyelesaian kasus ini agar tuntas?
Inilah kenyataan yang begitu memprihatinkan, anak-anak tumbuh dan hidup di tengah ancaman kekerasan yang pastinya akan berdampak bagi masa depan generasi bangsa. Dari semua langkah yang telah diambil oleh para punggawa negeri artinya memang sistem perlindungan anak di Indonesia belum mampu mencegah, melindungi dan menghentikan kekerasan terhadap anak. Solusi belum menyentuh akar masalah, yang ada hanya menimbulkan masalah baru.
Di sinilah penyelesaian problem anak di Indonesia membutuhkan perubahan sistem. Sebab kekerasan terhadap anak itu terjadi disebabkan oleh berbagai aspek yang saling berkaitan. Baik faktor ekonomi, keluarga, masyarakat dan negara sangat berperan dalam kasus kekerasan terhadap anak.
Maka segala kebijakan yang saat ini diberlakukan perlu untuk dievaluasi kembali. Perlu adanya pembenahan pada ruang lingkup keluarga sebagai benteng pertahanan pertama dalam menjaga anak generasi bangsa. Perlu adanya penjagaan aspek ketakwaan individu baik suami dan istri sebagai orang tua bagi anak-anaknya. Orang tua memiliki faktor dominan dalam membentuk kepribadian anak. Orang tua yang soleh, bahagia dan ekonomi tercukupi tentunya akan membentuk keluarga yang harmonis.
Negara juga harus memberikan penyuluhan pada masyarakat akan pentingnya menjaga anak generasi bangsa agar terhindar dari berbagai kasus kekerasan. Negara harus memastikan ekonomi masyarakat terpenuhi, tidak ada yang kelaparan apalagi tak mampu memenuhi tuntutan kebutuhan hidup sehari-hari. Sebab faktor ekonomi menjadi salah satu faktor orang tua menjadi mudah kehilangan akal untuk berfikir jernih sebab kebutuhan hidup sangat berat sementara pekerjaan sulit di dapat saat ini. Hingga emosi tak terkendali maka berujung pada kekerasan terhadap anak.
Kemudian negara juga harus serius mengawasi setiap tayangan baik di media sosial maupun televisi yang mengundang syahwat seperti pornografi dan pornoaksi, ini untuk menghentikan segala tindakan kekerasan seksual yang saat ini terjadi pada anak. Terakhir negara harus memberikan sanksi berat yang mampu membuat setiap pelaku jera dan tak mengulangi lagi perbuatan jahat tersebut.
Oleh karenanya, baik pemerintah daerah dan pemerintah pusat harus bersinergis dalam menyelematkan anak generasi bangsa. Harus diupayakan maksimal mengencangkan gerakan perlindungan anak agar generasi tumbuh menjadi generasi hebat dan bermartabat.
Hal ini tentunya sejalan sebagaimana Islam mencontohkan bagaimana melindungi anak dan generasi dari berbagai kasus kejahatan. Ini pernah diterapkan Rasulullah sebagai suri tauladan dalam mengelola negara dan pernah terbukti mampu membawa masyarakat hidup penuh rahmat di rasakan oleh muslim maupun nonmuslim. (red/PR)
Oleh : Nelly, M.Pd.
Dosen dan Aktivis Peduli Generasi
TAG : opini