Tak Ada Kata Menyerah di Gerobak Es Tebu Pak Ali

RADARMEDAN.COM - Di depan Masjid Al Jihad dijalan Abdullah Lubis No. 38 Kel. Babura, Kec. Medan Baru, di  bawah rindangnya pohon dan ramainya kendaraan yang lalu-lalang, ada satu sudut yang terasa  lebih sejuk bukan hanya karena minuman dingin yang dijual di sana, tapi juga karena  kehangatan dan semangat dari sosok yang setia berdiri di balik gerobaknya, Pak Ali, Kamis 20/6/2025.

Pak Ali, pria kelahiran tahun 1980 yang berumur 45 tahun, asal Tanah Minang tepatnya dari  daerah sekitar Pariaman, Sumatera Barat telah menjadi bagian dari denyut nadi kawasan Kota  Medan sejak tahun 2009. Bertempat tinggal di Komat (Kota Maksum), tepatnya di belakang  Yuki dan tak jauh dari Istana Maimun, ia memilih jalur hidup yang sedikit berbeda dari banyak  perantau Minang lainnya. 

“Orang Padang kan biasanya jual nasi Padang, ya saya mau beda. Saya pilih jualan es tebu,”  ucap Pak Ali sambil tertawa kecil, tangannya cekatan memeras batang tebu segar dengan mesin  yang sudah menjadi sahabat setianya. 

Sang istri dan dua putra, anak sulungnya yang kini duduk di bangku SMP, sementara adiknya  masih di SD, yang menjadi sumber semangatnya, Pak Ali bangun setiap hari dengan satu  tujuan, mencari nafkah halal yang bisa menghidupi keluarganya. Karena usahanya milik  sendiri, ia bebas menentukan jam kerjanya.

"Kalau urusan rumah udah beres, ga ada halangan  jam setengah sepuluh atau sebelas saya uda pigi. Tapi kalo ada halangan, ya abis Zuhur baru  pigi," katanya santai. 

Gerobaknya tidak pernah berpindah. Selalu mangkal di tempat yang sama dari pagi hingga  malam.

“Paling mentok sampe abis Isya,” ujarnya.

Dengan harga Rp5.000 per cup, es tebunya  laris manis, apalagi di hari Jumat.

"Biasanya rame hari Jumat, besok kemari. Karna didepan  mesjid kan jadi banyak orang sehabis jumatan singgah" 

Namun, perjalanan ini tidak selalu mulus. Musim hujan, sepinya pembeli, hingga ancaman penertiban oleh Satpol PP saat momen penilaian Adipura pernah membuat usahanya nyaris  terhenti.

Masa paling berat datang saat pandemi.

“Waktu itu kami gak boleh jualan. Berat kali  rasanya, karena kami ada tanggungan,bingung” kenangnya dengan mata yang menerawang  sejenak. 

Kalau sedang ramai, Pak Ali bisa menjual hingga 100 cup dalam sehari, yang berarti  penghasilannya bisa mencapai Rp500.000 per hari. Tapi itu tidak selalu terjadi. “Kadang kalau  hujan atau sepi, bisa jauh lebih sedikit. Pendapatan harian memang nggak tentu,” katanya.

Tantangan lain juga datang dari zaman yang terus berubah. Aplikasi belanja online membuat  banyak orang lebih memilih diam di rumah. Tapi Pak Ali tak pernah kehilangan semangat.

“Ini  andalan kami satu-satunya. Keluarga pasti support, makanya saya tetap semangat. Gak ada kata  nyerah, karena kalo nyerah, harus ada kata gantinya. Saya belum nemu gantinya, jadi gak akan  nyerah,” ujarnya mantap. 

Baginya, kebahagiaan itu sederhana.

“Senangnya pasti kalo rame. Liat orang antre beli es tebu,  itu udah cukup buat saya,” katanya. 

Pak Ali hanyalah satu dari sekian banyak pejuang kehidupan di pinggir jalan. Tapi dari balik  gerobak sederhananya, ia mengajarkan makna kerja keras, keikhlasan, dan cinta untuk  keluarga.
(Pengirim : Siti Aisyah Purba, Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial, UISU)

Berita Terkait

• Jalan Pusat Pasar Berastagi Rusak Parah, Pemkab Tanah Karo Diharap Respon Keluhan Warga
• Baznas Salurkan Zakat kepada Korban Kebakaran Jalan S Parman
• Ini Himbauan Polres Simalungun, Terkait POLDASU TOBA LIKE FIESTA 2019 di Pantai Bebas Parapat
• 50 Rumah Terbakar, Pemprov Sumut Bantu Korban Kebakaran Jalan S Parman

Berita Populer

• Reses ke Asahan, Junimart Girsang Ingatkan KPU Terkait KTP dan Pengawasan Bawaslu
• DPD WALANTARA Soroti Dinas Lingkungan Hidup Karo
• Pemkab Labuhanbatu Bersama BPJS Tanjungbalai Rapat Guna Tingkatkan Pelayanan Kesehatan
• Ini Ciri-ciri Virus Corona, Dirasakan Penderita COVID-19 Hari ke Hari
• BPK RI Serahkan Laporan Hasil Pemeriksaan Keuangan Pemkab Labuhanbatu